Kebebasan Beragama: Hak Setiap Pasangan?
“Kebebasan beragama adalah hak asasi paling dasar—dan paling sulit
diakui oleh agama-agama.” Dengan kalimat reflektif ini, Romo Franz
Magnis-Suseno memulai bagian pembicaraan mengenai kebebasan
beragama dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML) VIII di
Universitas Paramadina, 31 Oktober 2014 lalu.
Perkawinan antaragama sebagai manifestasi pluralisme sangat jelas memperlihatkan dilema antara nilai-nilai yang dianggap universal dan terjemahannya dalam praktik. Secara teoretis perkawinan antaragama seharusnya dilihat sebagai wujud paling tinggi dari kebebasan beragama dan toleransi karena kedua mempelai saling menghormati agama masing-masing dan saling memberi kebebasan untuk terus menganutnya. Dari perspektif ini hak-hak kebebasan beragama pasangan yang tidak seiman seharusnya didukung norma agama, hukum maupun kebijakan negara. Namun faktanya masih banyak negara yang dengan dorongan agama mayoritas membatasi atau menolak perkawinan antaragama walaupun pluralisme agama diakui secara resmi dalam konstitusinya dan agama yang dianut masing-masing pasangan sah menurut hukum. Untuk menunjukkan hal ini, dipilih dua negara di Asia Tenggara,
Indonesia dan Myanmar, di mana isu perkawinan antaragama muncul tahun terakhir ini dan menjadi agenda revisi hukum. Dengan membahas dan membandingkan keadaan di dua negara dengan agama mayoritas yang berbeda, yaitu Islam di Indonesia dan Buddha di Myanmar, akan terlihat bahwa penolakan perkawinan antaragama, walaupun dikaitkan dengan tafsiran teologis, erat hubungannya dengan negosiasi antara negara dan agama dalam wacana kekuasaan politik, identitas bangsa dan ideologi gender. Hasil negosiasi tersebut ikut menentukan sejauh mana hak kebebasan beragama diterapkan dalam hukum dan tata kehidupan masyarakat.
Perlukah Melegalkan Perkawinan
Antaragama di Indonesia?
Akhir tahun 2014 media di Indonesia riuh oleh berita pengajuan uji materi UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi terkait perkawinan antaragama. Para pemohon, yang terdiri dari sejumlah alumni dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), mempertanyakan keadilan Pasal 2, Ayat 1 yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Mereka mengganggap pasal tersebut multitafsir dalam menentukan penilaian hukum agama dan kepercayaan yang berlaku maupun pihak mana yang mempunyai kewenangan untuk menilainya. Ketidakjelasan ini diartikan melarang perkawinan antaragama oleh kantor catatan sipil dan institusi-institusi terkait lainnya, sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional atas kebebasan beragama yang dijamin melalui Pasal 28E Ayat 1 dan 2, Pasal 281 Ayat 1, Pasal 28I Ayat 1 dan pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 dan, dengan demikian, merugikan calon pasangan yang tidak seiman.
Menarik dicatat bahwa Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terpecah dua dalam hal ini. Salah satu komisioner mendukung legalisasi pernikahan lintas agama dengan alasan bahwa setiap warga negara berhak untuk menikah dan membangun keluarga dengan pilihannya sesuai hak konstitusionalnya. Namun, komisioner lain lain yang juga bertugas sebagai Ketua Komisi Kerukunan Antarumat Beragama MUI Pusat, menolaknya. Menurutnya perkawinan masuk dalam domain agama bukan negara, dan jika permohonan diterima dan Pasal 2 dihapus justru hak-hak orang beragama akan diabaikan. Dengan begitu, di institusi negara yang memegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan HAM, ternyata kebebasan beragama sebagai nilai universal tidak dipahami secara mutlak. Ada pandangan relativis bernuansa agama yang membatasinya.
Referensi:
Suseno, Franz Magnis. 2005. Agama, Keterbukaan Dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan. Jakarta" Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina.
Kebebasan Beragama: Hak Setiap Pasangan?
Reviewed by DaveM
on
Juli 15, 2017
Rating:
Tidak ada komentar