Rasionalisme : Sumber Pengetahuan Manusia?
Dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan, rasionalisme menempati tempat yang penting. Biasanya paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18, yaitu Rene Descartes, Spinoza, Leibniz, dan Wolff, meski sebenarnya akar-akarnya dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik seperti Plato, Aristoteles, dan lainnya. Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusia. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini. Prinsip-prinsip itu kemudian oleh Descartes, dikenalkan dengan istilah substansi, yang tak lain adalah ide bawaan (innate ideas) yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang clear and distinct, tidak bisa diragukan lagi.
Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu: (a) Pemikiran. Saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya; (b) Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide ‘sempurna’, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak bisa lain dari pada Tuhan; (c) Keluasaan. Saya mengerti sebagai keluasaan atau ekstensi (extention), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur. Pengakuannya tentang adanya tiga prinsip dasar ini, karena ketiganya tidak bisa lagi diragukan ‘keberadaan’nya.
Seperti halnya Descartes, Spinoza juga menetapkan prinsip dasar yang pasti dan menganggap bahwa setiap langkah dari pencarian kepastian itu merupakan satu-satunya jaminan bagi pengetahuan. Namun berbeda dengan Descartes, Spinoza mengakui hanya ada satu substansi. Meski ia tidak menyebut bahwa substansi itu sebagai Tuhan, tetapi ia mengakui bahwa substansi bersifat ilahi. Sementara, Leibniz menyebut substansi dengan “monade” sebagai principles of Nature and the Grace founded on reason. Ia memaknai monade ini dengan “the true atoms of nature”. Atom disini tidak sebagaimana dalam ajaran Demokritos dan Epikuros, tetapi “jiwa-jiwa”, sehingga monade yang ia maksudkan adalah “pusat-pusat kesadaran”. Begitulah Leibniz, ia adalah di antara tokoh-tokoh rasionalisme yang juga mengakui adanya prinsip-prinsip rasional yang bersifat a priori. Di atas prinsip rasional inilah kemudian ia menyusun pemikiran filsafatnya, di antarannya yang paling terkenal adalah logika modern, yang telah mengantarkannya untuk dijuluki “Bapak logika modern”.
Logika Leibniz dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu ada dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam adalah perwujudan dunia yang tampil secara matematis. Dunia yang terlihat dengan nyata ini hanya dapat dikenal melalui penerapan dasar-dasar pertama pemikiran. Tanpa itu orang tidak dapat melakukan penyelidikan ilmiah. Pandangan ini berkaitan dengan dasar epistemologi Leibniz, yakni kebenaran pasti atau kebenaran logis dan kebenaran fakta atau kebenaran pengamalan. Atas dasar pembedaan jenis kebenaran itu, Leibniz kemudian membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran eternal (abadi), dalam hal ini, kebenaran logis. Pengetahuan ini didasarkan pada prinsip identitas dan prinsip kontradiksi. Misalnya, A adalah A, dan selamanya A tidak pernah jadi selain non-A (contoh kebenaran ini berlaku khusus bagi eksistensi Tuhan). Prinsip ini bukan hasil dari penemuan ilmiah, tetapi sesuatu yang sifatnya aksiomatis. Kebenarannya tidak memberikan pengetahuan tentang dunia fenomenal, tanpa dasar kedua prinsip ini, tidak mungkin manusia berpikir secara logis. Memahami kebenaran logis adalah hak ‘prerogatif’ manusia.
Kedua, pengetahuan yang didasarkan pada observasi atau pengamatan, hasilnya disebut “kebenaran kontingen” atau “kebenaran fakta”. Kebenaran fakta tidak ditentukan oleh hubungan antara proposisi yang satu dengan proposisi yang lain. Jika pengetahuan jenis pertama berkaitan dengan penalaran yang bersifat analitik, maka pengetahuan jenis kedua ini bersifat sintetis dengan memakai prinsip “alasan yang mencukupi” (suficient reason). Akhirnya rasionalisme dapat dilihat daripada C. Wolff. Ia adalah penyadur filsafat Leibniz, bahkan ‘konon’ Leibniz sendiri tidak menciptakan suatu sistem filosofis. Di tangan Wolff inilah pemikiran Leibniz mendapatkan sistematisasinya. Berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang ia sebut dengan “premis”, kemudian Wolff membagi lapangan pengetahuan menjadi tiga bidang, yaitu apa yang ia sebut dengan: kosmologi rasional, psikologi rasional, dan teologi rasional.
1. Kosmologi rasional adalah pengetahuan yang berangkat dari premis, misalnya: Dunia ini terbatas dalam ruang dan waktu, dan pada hakikatnya terdiri dari kesatuan-kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dari prinsip ini kemudian pengetahuan tentang dunia dideduksikan.
2. Psipologi rasional adalah pengetahuan yang berhubungan dengan jiwa. Pengetahuan ini berangkat dari premis bahwa ruh itu adalah substansi yang tidak terbagi-bagi, bathiniah, sederhana, dan seterusnya. Dari premis ini kemudian pengetahuan tentang jiwa dideduksikan sifatnya, kemampuannya, dan keabadiannya.
3. Teologi rasional. Dalam pengetahuan ini, Wolff mengemukakan prinsip, bahwa Tuhan adalah realitas yang sesungguhnya, yang paling sempurna. Dari prinsip ini kemudian dideduksikan ujud-Nya dan hubungan-Nya dengan dunia, dan seterusnya.
Dengan memberikan tekanan pada metode deduksi, rasionalisme tentu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh kesimpulan-kesimpulan yang dieprolehnya sama banyaknya dengan kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh premis-premis yang mengakibatkan kesimpulan tersebut. Karena itu jika kita menginginkan agar kesimpulan-kesimpulan itu berupa pengetahuan, maka premis-premis tersebut haruslah benar secara mutlak. Inilah yang oleh Descartes disebut kebenaran a priori yang clean and distinct, sebagaimana yang telah diuraikan di muka.
Demikianlah rasionalisme menganggap, sumber pengetahuan manusia itu adalah rasio. Rasio itu ada pada subjek. Maka asal pengetahuan harus dicari pada subjek. Rasio itu berpikir. Berpikir inilah yang membentuk pengetahuan. Karena hanya manusia yang berpikirlah yang memiliki pengetahuan. Berdasarkan pengetahuan inilah manusia berbuat dan mementukan tindakannya. Berbeda pengetahuan, maka akan berbeda pula laku-perbuatan dan tindakannya. Tumbuhan dan binatang tidak berpikir, maka mereka tidak berpengetahuan. Laku-perbuatan dan tindakan makhluk-makhluk yang tidak punya rasio, sangat ditentukan oleh naluri, yang dibawanya sejak lahir. Tumbuhan dan binatang memperoleh pengalaman seperti manusia. Namun demikian tidak mungkin mereka membentuk pengetahuan dari pengalamannya. Oleh karenanya pengetahuan hanya dibangun oleh manusia dengan rasionya.
Referensi :
1. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet. Ke-18, hal 46.
2. Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Bart, dari Aristoteles sampai Derrida, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal 34.
3. HB. Sutopo, “Metode Mencari Ilmu Pengetahuan: Rasionalisme dan Empirisisme” dalam M. Toyibi (ed.), Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999), cet ke-2, hal 73.
4. Joko Siswanto, op. cit., hal 42.
5. Bernard Delfgeuuw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), hal 111-112.
6. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku Kedua, Pengantar kepada Teori Pengetahuan), (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1991), cet Ke-5, hal 24-25.
7. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987), cet Ke-2, hal 140
Rasionalisme : Sumber Pengetahuan Manusia?
Reviewed by DaveM
on
September 26, 2017
Rating:
Tidak ada komentar